Mengolah Sampah, Mengurangi Emisi Karbon

Advertisement
Pekalongan - Sembari menjinjing roknya, Susanti (38), menerobos banjir rob atau genangan dari luapan air laut pasang yang merendam jalan di lingkungan tempat tinggalnya, RT 02/ RW 09 Kelurahan Kandang Panjang, Kecamatan Pekalongan Utara, Kota Pekalongan, Rabu (25/9).

Meskipun roknya sudah tergulung hingga sebatas paha, namun langkahnya tak bisa cepat. Gerak kakinya tertahan oleh genangan rob yang menutup jalan itu dengan ketinggian sekitar 60 sentimeter. Lingkungan tempat tinggalnya sudah enam tahun lalu terendam rob. Dari tahun ke tahun, genangannya tidak pernah surut.

Tidak hanya merendam halaman rumah dan jalan menuju rumahnya, rob juga telah merendam 60 hektare sawah di kelurahan tempat tinggalnya. Kini, tidak ada lagi sawah menghampar di lingkungan tersebut. Padahal, enam tahun lalu, di kanan dan kiri rumahnya merupakan areal pertanian yang subur. “Jika terjadi gelombang pasang, air naik ke dalam rumah,” kata Susanti.

Hal itu seperti terjadi pada Mei lalu. Rumahnya terendam rob dengan ketinggian sekitar 40 sentimeter saat rob kembali menerjang kawasan pesisir Kota Pekalongan. Rumah Susanti, satu dari 5.060 rumah di tujuh kelurahan di Kecamatan Pekalongan Utara yang terendam banjir rob dengan ketinggian antara 30 sentimeter hingga 1,5 meter.



Susanti adalah satu dari ribuan warga Kota Pekalongan yang terkena dampak perubahan iklim. Berdasarkan penelitian Departemen Kelautan dan Perikanan tahun 2008 (sekarang Kementerian Kelautan dan Perikanan), Kota Pekalongan merupakan kota pantai yang rentan terhadap dampak perubahan iklim.

Dampak perubahan iklim itu ditandai dengan peningkatan suhu, curah hujan, kenaikan permukaan air laut dan tekanan udara. Peningkatan suhu rata-rata di sepanjang pesisir utara rata-rata 0,004 hingga 0,04 derajat Celsius pertahun dan peningkatan suhu mencapai 0,4 derajat Celcius hingga 4 derajat Celsius sampai 100 tahun mendatang.

Peningkatan suhu mempengaruhi peningkatan suhu air laut di pesisir pantai dengan laju 0,05 derajat Celsius hingga 0,10 derajat Celsius per tahun. Variabel perubahan curah hujan di sepanjang pesisir telah mengubah pola hujan. Berdasarkan data Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) Tegal, pada tahun 1980, musim kemarau terjadi hanya pada bulan Juli.

Kemudian pada 2007 terjadi pada bulan Mei sampai dengan September sehingga musim kemarau terjadi lebih panjang. Intensitas curah hujan cenderung lebih tinggi pada tahun 2007 dibandingkan tahun 1980, terutama bulan November hingga Desember, mencapai lebih 500 milimeter.

Sementara itu, kenaikan permukaan air laut mencapai 0,6 centimeter hingga 0,8 centimeter per tahun. Pada 2030 mendatang, kenaikan permukaan air laut diperkirakan mencapai 22,5 centimeter. Jika menggunakan perkiraan 100 tahun yang akan datang, permukaan air laut naik hingga 0,8 meter dan diperkirakan mempengaruhi 913,8 hektare lahan yang memiliki rentang jarak 1,63 kilometer hingga 2,01 kilometer dari garis pantai Kota Pekalongan.

Perubahan iklim tersebut menyebabkan banjir dan rob, kekurangan air bersih, penyakit dari vektor serangga seperti demam berdarah dengue (DBD) dan kaki gajah (filariasis) serta gelombang tinggi. Banjir dan rob dapat terjadi beberapa kali dalam setahun. Khusus rob, bahkan dapat terjadi setiap bulan.

Dampaknya, 387 hektare sawah terintrusi air laut. Ratusan hektare sawah itu tersebar di Kelurahan Degayu 110 hektare, Kelurahan Krapyak Lor 65 hektare, Kelurahan Kandang Panjang 60 hektare, Kelurahan Pabean 45 hektare dan paling luas di Kelurahan Bandengan mencapai 107 hektare.

Penyumbang Emisi

Selain memperoleh dampak buruk perubahan iklim, Kota Pekalongan juga berkontribusi dalam mengeluarkan emisi gas rumah kaca (GRK) sebagai penyebab perubahan iklim. Berdasarkan perhitungan GRK yang dilakukan Kelompok Kerja (Pokja) Perubahan Iklim Kota Pekalongan pada 2008, seluruh kegiatan masyarakat Kota Pekalongan menghasilkan emisi GRK mencapai 444.565 ton CO2 ekuivalen.

Anggota Pokja Perubahan Iklim Kota Pekalongan Muchamad Rizal menjelaskan, emisi GRK terbesar berasal dari kegiatan perumahan 123.186 ton CO2 ekuivalen (28 persen), kegiatan industri 115.704 ton CO2 ekuivalen (26 persen), sampah 100.718 ton CO2 ekuivalen (22 persen), transportasi 87.752 ton CO2 ekuivalen (20 persen) dan komersial 17.206 ton CO2 ekuivalen  (4 persen).

Dengan pertumbuhan penduduk Kota Pekalongan rata-rata 0,5 persen per tahun, dan pertumbuhan ekonomi 3,6 persen per tahun, kata dia, emisi GRK dari sektor masyarakat diperkirakan akan meningkat menjadi 563.161 ton CO2 ekuivalen pada tahun 2015 dan 657.729 ton CO2 ekuivalen pada 2020 mendatang.

“Namun dengan upaya mitigasi, emisi GRK akan turun menjadi 559.156 ton CO2 ekuivalen atau berkurang 4.005 ton pada 2015, dan pada 2020, emisi GRK akan turun menjadi 559.070 ton CO2 ekuivalen atau berkurang 98.659 ton,” jelasnya.

Sementara itu, emisi GRK dari operasional aset pemerintah pada 2009 tercatat 9.102 ton CO2 ekuivalen. Emisi diperkirakan meningkat menjadi 17.359 ton CO2 ekuivalen pada tahun 2015 dan mencapai 24.210 ton CO2 ekuivalen pada tahun 2020.

Dari sisi sumber energi, emisi GRK terbesar dari operasional pemerintah berasal dari konsumsi listrik sebesar 85 persen, bensin 5 persen dan solar 10 persen.

Untuk meningkatkan ketahanan terhadap dampak dan risiko perubahan iklim, sekaligus berkontribusi menurunkan emisi GRK, Pemerintah Kota (Pemkot) Pekalongan menetapkan delapan rencana aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.

Dari operasional pemerintah, ditargetkan penurunan emisi GRK sampai dengan 20 persen dan dari seluruh kegiatan
pembangunan sampai dengan 15 persen pada tahun 2010.

Delapan rencana aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim itu meliputi penyediaan dan pemanfaatan informasi cuaca dan iklim bagi masyarakat serta pengendalian banjir dan rob akibat peningkatan intensitas curah hujan dan kenaikan permukaan air laut.

Selain itu, peningkatan akses air bersih bagi masyarakat di daerah rawan rob, efisiensi energi, pengendalian penggunaan moda transportasi bermotor dan perbaikan angkutan umum. Berikutnya peningkatan efisiensi energi serta pengelolaan limbah industri, perbaikan pengelolaan sampah dan peningkatan ruang terbuka hijau dan taman kota.

Memilah Sampah

Untuk mengurangi emisi GRK dari sektor sampah yang ditimbulkan dari sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Degayu maupun pembakaran sampah oleh masyarakat, Pemkot Pekalongan mengembangkan Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) 3R (reduce, reuse dan recycle) .

Wali Kota Pekalongan M Basyir Ahmad mengatakan, nantinya, TPST 3R akan dikembangkan di semua kelurahan di Kota Pekalongan. “Pemkot Pekalongan akan membangun TPST di setiap kelurahan. Setiap kelurahan, diupayakan minimal ada satu TPST,” katanya.

Dari 47 kelurahan di Kota Pekalongan, saat ini baru ada 21 TPST 3R. Jumlah tersebut akan bertambah karena saat ini Kantor Lingkungan Hidup (KLH) Kota Pekalongan tengah membangun dua unit TPST di Kelurahan Pasirsari dan Kelurahan Pringlangu, Kecamatan Pekalongan Barat.

Dengan demikian, Kota Pekalongan akan memiliki 23 TPST 3R tahun ini. Kepala KLH Kota Pekalongan Slamet Budiyanto memaparkan, ke-23 TPST 3R tersebut tersebar di sembilan kelurahan di Kecamatan Pekalongan Barat, empat di Kecamatan Pekalongan Utara, empat di Kecamatan Pekalongan Timur dan enam di Kecamatan Pekalongan Selatan.

"Keberadaan TPST tersebut diharapkan dapat mengurangi volume sampah masyarakat yang dibuang ke TPA sebesar 10 hingga 15 persen," terang dia.

Volume sampah di TPA Degayu berkisar antara 14.450 meter kubik hingga 340.083 meter kubik per bulan. Di TPST, sampah dari rumah tangga dipilah sehingga tiap bagian dapat didaur ulang secara optimal.

Ketua Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) TPST Godong Ijo, Bambang Sutejo mengatakan, di TPST Godong Ijo, sampah dipisahkan menjadi sampah organik, sampah yang bisa didaur ulang dan sampah yang berbahaya atau beracun. “Sampah organik dikumpulkan untuk diproses menjadi kompos, sampah anorganik dikumpulkan, sedangkan sampah beracun dibuang ke TPA Degayu," katanya.

Setiap hari, pekerja TPST Godong Ijo bekeliling ke permukiman warga di Kelurahan Kuripan Kidul, Kecamatan Pekalongan Selatan. Mereka mengangkut sampah menggunakan kendaraaan bak terbuka dan dua unit gerobak dorong. Menurut Bambang, setiap hari TPST Godong Ijo mengolah 10 meter kubik sampah yang dihasilkan dari 300 rumah tangga di dua wilayah Rukun Warga (RW) di Kelurahan Kuripan Kidul.

Dari pengolahan sampah organik, setiap bulan TPST Godong Ijo menghasilkan sekitar 1,5 ton kompos. Selanjutnya, kompos dikemas dalam kemasan 4 kilogram dan dijual seharga Rp 1.000 perkilogram ke pedagang-pedagang bunga. Saat ini, TPST Godong Ijo melayani 500 pelanggan dari Kota Pekalongan dan Kabupaten Pekalongan.

Sementara itu, pengelola TPST Rusun Indah di Kelurahan Krapyak Lor, Kecamatan Pekalongan Utara melakukan pemilahan sampah di titik pembuangan sampah bagi rumah tangga di tiga wilayah RW di Kelurahan Krapyak Lor, Kecamatan Pekalongan Utara. “Sampah rumah tangga kami pilah di titik pembuangan. Sampah-sampah organik kami bawa ke TPST untuk diolah,” kata Ketua KSM Rusun Indah, Wahyu Hidayat.

Perbaikan pengelolaan sampah melalui pembangunan TPST diharapkan dapat mengurangi emisi sebesar 700 ton CO2 ekuivalen pada tahun 2015 dan 100.000 ton CO2 ekuivalen hingga tahun 2020. Selain membangun TPST 3R, untuk mengurangi sampah, Pemkot Pekalongan memfasilitasi pembentukan delapan bank sampah dan shadaqah sampah.

Sementara itu, kawasan terbuka hijau terus diperluas.  Hingga saat ini Kota Pekalongan telah memiliki enam titik kawasan terbuka hijau, baik hutan kota maupun taman dengan luas mencapai 55.041 meter persegi.

Enam kawasan terbuka hijau tersebut yakni  Hutan Kota Yosorejo (32.400 meter persegi), Hutan Kota Landungsari (7.000 meter persegi), Hutan Kota Sokorejo (2.150 meter persegi), Hutan Kota Mataram (2.891 meter persegi), Hutan Kota Poncol (8.000 meter persegi) dan Hutan Kota Sriwijaya (2.600 meter persegi).
(Isnawati/CN26) suaramerdeka

9 out of 10 based on 10 ratings. 9 user reviews.

0 Response to "Mengolah Sampah, Mengurangi Emisi Karbon"

Posting Komentar