Advertisement
“Saya secara pribadi mungkin sementara dipilih DPRD dengan diawasi ketat, kemudian nanti bisa dipilih langsung. Sekarang siapa yang bisa menindak sedemikian banyak orang,” kata Mohammad Basyir Ahmad, dalam perbincangan bersama Radio Republik Indonesia, Senin (15/9/2014).
Berdasarkan pengalaman pribadinya selama mengikuti pilkada 2005 dan 2010, kemudian mengikuti pemilihan umum legislatif 2009 dan 2014,dia harus merogoh kocek ekstra. Untuk pilkada, dia harus mengeluarkan uang Rp 1, 5 miliar. Sementara untuk pileg 2009 lebih besar bahkan 2014, jumlahnya tiga kali lipat.
Uang-uang tersebut terpaksa digelentorkan karena masyarakat enggan untuk datang ke TPS kecuali diiming-imingi uang. “Orang masih mengatakan ada uang nyoblos, tidak ada uang maka tidak nyoblos karena untuk mendatangi TPS mereka harus meninggalkan pekerjaan. Luar biasa habisnya. Pada pilgub kemarin, angka partisipasi hanya 50 persen dan ini memprihatinkan”.
Diakui, kepala daerah dipilih DPRD bukan berarti tanpa masalah. Ketika menjadi anggota DPRD 1999, wali kota harus selalu berbaik hati dengan dewan agar pertanggung jawabannya yang diajukan setahun sekali diterima dewan. Setiap pertanggungjawaban, ada uang mengalir. Namun itu bisa dicegah.
Apabila sistem pilkada dikembalikan ke DPRD maka pengawasan harus diperketat sehingga politik uang tidak mencederai pemilihan kepala daerah. Pengawasan terhadap praktek politik uang lebih maksimal dibandingkan dengan pilkada langsung. “Saya melihat kalau pilkada langsung diteruskan, itu bahaya. Kalau yang rusak politisi tidak apa-apa, itu kan hanya segelintir. Kalau yang rusak rakyat maka harus ditangisi,” tegasnya. (Sgd/BCS)rri.co.id
9 out of 10 based on 10 ratings. 9 user reviews.
0 Response to "Walkot Pekalongan Dukung Pilkada Tidak Langsung"
Posting Komentar