Tren Penjualan Daging Babi di Pekalongan Dirasa Menurun

Advertisement
Johanes Budiono (61) mengambil sebilah golok. Benda tajam itu lalu digesekkannya ke batu asahan berulang kali. Setelah dirasa cukup, sebongkah daging lalu dibelahnya. Meski tangannya sudah penuh kerut dimakan usia, ternyata masih lincah memotong-motong daging babi sesuai keinginan pembeli.

Sejak pukul 05.30 WIB, Budi bersama pedagang kios daging babi kawasan pecinan Kota Pekalongan mulai berjualan. Di kios yang ada di Jalan Belimbing ini, ada tiga orang yang menjual daging babi. Namun, ada juga penjual kecil lain yang membeli dari tiga pemilik kios ini.

“Sekarang sepi,” kata dia sambil menghisap kretek dari tangan kirinya.



Penjualan daging babi mulai terasa sepi sejak dipusatkan di kios ini tahun 2000 an. Semula, ia mampu menjual hingga 50 Kilogram daging babi dalam sehari. Namun kini, ia hanya mampu menjual 35 Kilogram sehari. “Sekarang paling banyak hanya dua ekor se-Pekalongan, dulu bisa sampai tiga ekor,”

Lesunya pasar daging babi ini menurut kakek tiga cucu ini karena konsumen beralih ke makanan yang instan. “Anak muda sekarang maunya yang instan, kalau dulu orang tua masih suka masak sendiri. Lebih hemat sebenarnya,” kata dia yang berdagang daging sejak kecil.

Budi boleh dibilang mewarisi bisnis orangtuanya. Sejak masih SD, tahun 70 an, Budi menjual daging keliling bersama ayahnya. Area penjualannya seluruh kota Pekalongan. namun, seiring waktu, perdagangan daging babi dipusatkan di kios yang sekarang ia gunakan untuk berdagang. “Dulu ada yang di rumah-rumah, sekarang semua jual di sini,” kata dia.

Konsumennya, 90 persen etnis Tionghoa. Selain konsumsi rumahtangga, ia juga menyuplai restoran-restoran penyedia menu olahan daging babi. Konsumen lainnya warga Pekalongan yang biasanya pindahan dari kota lain. “Yang tidak terlalu fanatik, biasanya ngambil di sini,” kata dia.

Harga satu kilogram daging babi kini mencapai Rp 68 ribu. Harga akan semakin turun ketika semakin siang. Menjelang tutup, kuang lebih pukul 10.00 WIB, harga akan turun menjadi Rp 60 ribu. “Kalau tidak habis kita masukan ke restoran. Harganya sudah turun dan tidak langsung dibayar, ini risiko dagang” kata dia.

Pecinan ini memiliki atmosfer yang khas. Selain desain bangunan rumah sepanjang jalan yang kental nuansa China, di pecinan ini juga terdapat klenteng dan vihara, dua rumah ibadah bagi kebanyakan etnis Tionghoa.

Dari kajian sejarah, emigrasi orang Cina ke Jawa mulai terjadi secara besar-besaran pada abad ke 14. Awal terjadinya pemukiman Cina di sepanjang pantai Utara Jawa, termasuk Pekalongan tersebut sebagai akibat dari aktifitas perdagangan antara India dan Cina lewat laut. Perdagangan lewat laut tersebut memanfaatkan angin musim utara antara bulan Januari-Februari untuk pergi ke Selatan dan pulang ke utara dengan pertolongan angin musim selatan antara bulan Juni-Agustus. Selama periode perubahan musim, para pedagang tinggal di pelabuhan-pelabuhan Asia Tenggara, disamping mereka menunggu rekan dagang dari negara lain.

Perkembangan pemukiman Cina di Asia Tenggara tambah dipacu dengan adanya usaha dari dinasti Ming, periode 1368-1644 untuk memasukkan daerah Asia Tenggara sebagai daerah dagangnya pada abad ke 14. Admiral Cheng Ho dari dinasti Ming dikirim untuk melakukan ekspedisi pelayaran. Antara tahun 1405-1433, Cheng Ho melakukan tujuh kali ekspedsi pelayaran. Pada jaman ekspedisi Cheng Ho inilah pemukiman Cina di berbagai kota-kota pantai utara Jawa mengalami pemantapan. (Rudal Afgani)
satelitpost.co

9 out of 10 based on 10 ratings. 9 user reviews.

0 Response to "Tren Penjualan Daging Babi di Pekalongan Dirasa Menurun"

Posting Komentar