Potensi Energi Masa Depan yang Terabaikan

Advertisement
Pekalongan - Hari-hari Dasman Hernadi di peternakan sapi Pondok Pesantren Syafi’i Akrom, Kelurahan Jenggot, Kecamatan Pekalongan Selatan, Kota Pekalongan, kini tidak lagi sama. Sepanjang hari di antara rutinitasnya membersihkan kandang, memberi pakan dan memerah susu, ia harus jeda beberapa kali untuk memasukkan kotoran sapi ke dalam instalasi pengolahan  air limbah (IPAL) yang berada di samping kandang.

Tidak sekedar memasukkan kotoran sapi ke dalam IPAL, namun Dasman harus memastikan kotoran sapi yang dimasukkan ke dalam IPAL bersih dari sampah dan rumput bekas pakan ternak. “Kalau tercampur sampah akan menyumbat saluran IPAL sehingga menganggu proses di dalam,” kata dia, Minggu (10/11).

Aktivitas tambahan itu dijalaninya sejak dua pekan terakhir setelah pembangunan IPAL selesai. Sebelumnya, kotoran sapi hanya dibuang di belakang kandang, dibiarkan menumpuk hingga kering. Sebagai ganjarannya, Dasman mendapatkan biogas yang dimanfaatkan sebagai bahan bakar untuk memasak nasi, memasak sayur dan merebus air minum.

Selain itu, ia juga menyiapkan lampu petromax yang dihubungkan dengan saluran biogas. Lampu petromax disiapkan untuk menerangi kandang jika terjadi pemadaman listrik karena aktivitasnya di peternakan sapi perah itu dimulai pada pukul 03.00, dini hari. “Jadi, kalau mati lampu, saya masih bisa memerah susu,” sambungnya.



Rencananya, biogas itu akan dikembangkan ke dapur para santri di Pondok Pesantren Syafi’i Akrom sehingga para santri nantinya tidak perlu mengeluarkan uang untuk membeli elpiji. Dan tahun depan, instalasi IPAL biogas akan dikembangkan ke warga di sekitar Pondok Pesantren Syafi’i Akrom.

Jika Dasman baru dua pekan merasakan manfaat biogas dari kotoran sapi, Nur Kholis, peternak sapi potong di Kelurahan Bandengan, Kecamatan Pekalongan Utara dan enam warga di sekitar peternakan sapi miliknya, sudah hampir dua tahun menerima manfaat dari biogas kotoran sapi. “Kalau harga elpiji naik, kami tidak begitu risau karena kami sudah tidak menggunakan elpiji,” kata dia.

Menurut Nur Kholis, setelah menggunakan biogas dari kotoran sapi, ia bisa menghemat pengeluaran. Saat masih menggunakan elpiji, satu tabung elpiji kemasan 3 kilogram habis untuk memenuhi kebutuhan selama satu minggu. Jika harga elpiji sekarang Rp 16.000, dalam sebulan ia bisa berhemat sekitar Rp 64.000. Sehingga uang itu bisa dialihkan untuk membeli keperluan lainnya.

Di peternakan itu, ada 15 ekor sapi yang kotorannya dimanfaatkan menjadi biogas sebagai energi alternatif. Biogas itu dihasilkan dari kotoran sapi bersama air sisa pembersihan kandang dan air mandi sapi.

Pemanfaatan energi baru dan terbarukan biogas dari kotoran sapi bisa menjadi jawaban untuk mengatasi ancaman krisis energi yang membayangi negeri ini. Potensinya sangat besar, namun cenderung terabaikan karena belum dimanfaatkan secara optimal sebagai energi masa depan yang berkelanjutan. Sehingga ketergantungan terhadap minyak bumi masih tinggi.

Mengutip data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), konsumsi energi pada tahun 2011 masih didominasi energi fosil. Konsumsi minyak bumi mencapai 549 juta setara barel minyak (SBM) atau 39 persen dari total konsumsi energi nasional. Konsumsi terbesar kedua batu bara 334 juta SBM atau 23 persen. Setelah itu biomassa 280 juta SBM (18 persen), gas alam 261 juta SBM (17 persen), tenaga air 31 juta (2 persen), dan panas bumi 15 juta SBM (1 persen).

Tingginya ketergantungan masyarakat terhadap minyak bumi juga tercermin dari hasil survei Perilaku Masyarakat Peduli Lingkungan yang dilakukan Kementerian Lingkungan Hidup pada tahun 2012.

Dari survei yang dilakukan terhadap 6.048 rumah tangga di Indonesia tentang jenis bahan bakar utama yang digunakan untuk memasak, pengguna gas /elpiji sangat tinggi, yakni 3.756 rumah tangga (62,10 persen). Setelah itu pengguna minyak tanah 1.134 rumah tangga (18,75 persen), pengguna kayu bakar 1.090 rumah tangga (18,02 persen) dan pengguna listrik 12 rumah tangga (0,20 persen). Sedangkan yang menggunakan biogas hanya enam rumah tangga (0,10 persen).

Sementara itu, cadangan minyak Indonesia dari waktu ke waktu terus berkurang. Berdasarkan data Kementerian ESDM, pada tahun 2009, cadangan minyak Indonesia sebanyak 4,30 miliar barel. Jumlah tersebut turun menjadi 4,23 miliar barel pada tahun 2010. Dan pada tahun 2011, turun lagi menjadi 4,04 miliar barel. Ketergantungan pada energi fosil tanpa adanya upaya untuk melakukan diversifikasi energi alternatif akan mengancam ketahanan energi.

Pertamina telah melakukan upaya untuk mengurangi ketergantungan pada energi fosil. Di antaranya dengan melakukan diversifikasi energi melalui produk BBG, biomass, penggunaan solar cell, energi panas bumi dan pengembangan biofuel.

Berlimpah

Direktur Decentralised Wastewater Treatment System (DEWATS) Lembaga Pengembangan Teknologi Pedesaan (LPTP) Popo Riyanto mengatakan, banyak sumber daya energi alami yang bisa dikembangkan untuk mengamankan ketahanan energi masa depan. “Semua kotoran ternak, limbah industri dan limbah rumah tangga sangat potensial untuk dikembangkan menjadi energi guna memenuhi energi bagi masyarakat dan menjamin ketersediaan energi di masa depan,” papar dia.

Kotoran sapi salah satunya. Potensi energi terbarukan biogas dari kotoran sapi sangat berlimpah. Potensi itu ada di desa-desa di seluruh Indonesia. Sebagai gambaran, di Kota Pekalongan yang wilayahnya hanya terdiri dari empat kecamatan, 47 kelurahan, populasi ternak sapi tercatat 1.008 ekor, meliputi sapi potong 633 ekor dan sapi perah 375 ekor. Di kabupaten-kabupaten yang wilayahnya lebih luas, jumlah populasi ternak sapi pasti sangat besar.

Namun, kelimpahan potensi sumber daya energi alami itu belum dimanfaatkan secara optimal untuk meningkatkan ketahanan energi masa depan. Di Kota Pekalongan, misalnya. Dari jumlah populasi ternak sapi 1.008 ekor, saat ini baru ada empat unit IPAL kotoran sapi. Yakni di Kelurahan Bandengan (Kecamatan Pekalongan Utara), Kelurahan Yosorejo, Kelurahan Kuripan Lor dan di Pondok Pesantren Syafi’i Akrom Kelurahan Jenggot (Kecamatan Pekalongan Selatan),

Padahal menurut Popo, untuk menghasilkan biogas guna memenuhi kebutuhan satu rumah tangga hanya diperlukan satu hingga tiga ekor sapi. “Untuk menghasilkan biogas untuk satu rumah tangga dibutuhkan sekitar 1,2 meterkubik biogas. Itu dihasilkan dari satu hingga tiga ekor sapi. Kotoran sapi dimasukkan ke IPAL secara rutin setiap hari. Biogas yang dihasilkan bisa dimanfaatkan satu rumah tangga selama sehari,” papar Popo.

Selain sebagai bahan bakar pengganti elpiji untuk menyalakan kompor, biogas kotoran sapi juga bisa dimanfaatkan untuk menyalakan lampu petromax. Bahkan, bisa untuk menggerakkan genset. “Di Sulawesi, biogas kotoran sapi dimanfaatkan untuk menggerakkan genset,” sambungnya.

Pemanfaatan sumber daya energi alami seperti kotoran sapi, selain menjamin ketahanan energi di masa depan, juga berkontribusi terhadap penyelamatan lingkungan. Popo mengatakan, dengan memanfaatkan biogas dari kotoran sapi, warga Boyolali tidak lagi mencari kayu bakar di hutan. Penebangan kayu di daerah tersebut berkurang sehingga menekan deforestasi.

“Selain menjaga agar hutan tidak gundul, dengan memanfaatkan biogas kotoran sapi, banyak waktu yang bisa dihemat. Yang sebelumnya ibu-ibu mencari kayu bakar di hutan, kini waktunya dimanfaatkan untuk kegiatan ekonomi,” tambahnya. Dan, pengolahan kotoran sapi menjadi biogas juga mengurangi emisi gas metana yang mempunyai andil besar dalam pemanasan global. (Isnawati) suaramerdeka
9 out of 10 based on 10 ratings. 9 user reviews.

0 Response to "Potensi Energi Masa Depan yang Terabaikan"

Posting Komentar