Advertisement
"Dulu kalau ada petani yang panennya kurang dari sembilan ton (dari satu hektare sawah) pasti jadi bahan tertawaan," kata Wasis yang kini menjabat Kepala Desa Jeruksari kepada Tempo, Senin, 30 September 2013.
Meski berjarak sekitar dua kilometer dari bibir pantai laut utara Jawa, lahan pertanian di Jeruksari terkenal subur. Tiap satu hektare sawah rata-rata mampu menghasilkan 10 hingga 11 ton padi jenis IR 64.
Kini, kesuburan lahan pesisir itu tinggal kenangan. Bencana rob yang mendera sejak 2000 lalu telah mengubah 121 hektare sawah menjadi rawa. Naiknya air laut ke daratan hingga membanjiri 1.131 rumah warga Jeruksari juga sudah tak terhitung.
Selama 11 tahun, para petani meninggalkan sawahnya yang terendam rob. Untuk menghidupi keluarganya, mereka terpaksa mengadu nasib menjadi buruh di Kota Pekalongan dan sekitarnya.
Pada 2011, lahan bekas sawah itu mulai dimanfaatkan untuk keramba tancap. "Tapi baru 76 hektare yang digarap. Sisanya seluas 45 hektare masih terbengkalai," kata Wasis. Keramba tancap itu serupa tambak berpagar jaring untuk ternak ikan nila.
Keramba tancap dikelola 17 kelompok. Tiap kelompok beranggotakan 15 sampai 20 warga. Tiap satu petak keramba tancap seluas 2.000 meter persegi diisi 300 hingga 400 benih nila yang dapat dipanen tiap empat bulan.
Dengan harga nila Rp 12.000 per kilogram, satu petak keramba tancap itu hanya menghasilkan keuntungan bersih Rp 400.000 tiap kali panen. Rendahnya keuntungan itu akibat biaya panen mencapai 50 persen dari total laba kotor.
"Nila sulit dijaring, jadi kami harus bayar tenaga tambahan," ujar Wasis. Yang lebih menyakitkan, ia menambahkan, banyak nila yang mati karena keramba tancap tercemar limbah tekstil yang langsung dibuang ke sungai.
Selain menghitamkan sungai, limbah juga menimbulkan bau busuk yang menyengat. "Jadi petani dimusuhi rob. Jadi petambak, dimusuhi limbah," ujar Nasir, 34 tahun, salah satu warga Desa Jeruksari yang mengelola keramba tancap.
Kepada Pemerintah Kabupaten Pekalongan, Nasir berharap agar ada sanksi tegas bagi perusahaan tekstil yang langsung membuang limbah ke sungai. "Limbah itu racun mematikan bagi udang dan nila," katanya.
Kepala Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Pekalongan, Sigit Pembudiono, mengatakan ada sekitar 30 perusahaan tekstil skala besar di Kabupaten Pekalongan. Dari 30 perusahaan itu, semuanya masih berlabel merah dalam pengolahan limbahnya.
"Merah artinya dari sisi pengolahan limbah sudah bagus. Tapi dari ketaatan aturan masih jauh dari harapan," Sigit menerangkan. Oktober mendatang, baru dua perusahaan yang akan naik ke label biru (satu tingkat di atas merah) dalam pengolahan limbahnya.
Sejatinya Pemkab Pekalongan sudah memiliki Peraturan Daerah tentang Lingkungan Hidup. Namun, perda yang mengatur ihwal limbah itu belum banyak diindahkan karena mahalnya biaya pembuatan instalasi pengolahan air limbah (IPAL)./tempo
9 out of 10 based on 10 ratings. 9 user reviews.
0 Response to "Iklim Berubah, Petani Pekalongan Jadi Petambak"
Posting Komentar